LEBAK, - Seba adalah kunjungan resmi Lembaga Adat Kanekes ke Pemerintah Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang dan Provinsi Banten (dulu Kesultanan Banten) setiap tahun sekali. Biasanya diwakili oleh puluhan warga Baduy Dalam alias Urang Tangtu (dari kampung Cibeo, Cikeusik dan Cikartawana) yang selalu berjalan kaki dan perwakilan warga Baduy Luar atau Urang Panamping.
Hal itu disampaikan Uday Suhada di acara Bincang Budaya Baduy yang digelar Disbudpar Lebak dan Museum Multatuli Rangkasbitung, pada Jumat (6/5/2022)
Pada awalnya, untuk menuju pendopo Rangkasbitung maupun ke Serang, seluruh delegasi, baik Urang Tangtu maupun Urang Panamping selalu berjalan kaki. Tetapi sejak kendaraan roda empat juga beredar di sekitar Kecamatan Leuwidamar, delegasi Urang Panamping diperbolehkan untuk menggunakannya. Sedangkan Urang Tangtu tidak boleh alias harus selalu mengandalkan telapak kakinya, bahkan kemanapun mereka pergi.
"Setelah dua tahun terakhir dihantam Pandemi Covid-19, sehingga jumlah delegasinya sangat terbatas (tahun 2020 Hanya 12 orang, tahun 2021 hanya 28 orang, tahun 2022 delegasi Seba para penjaga alam ini, akan diwakili oleh dua orang delegasi dari masing-masing kampung yang saat ini jumlah kampugnya mencapai 68 kampung. Jadi setidaknya akan diikuti oleh sekitar 140 warga, " kata Uday Suhada.
Dikatakan Uday, mendengar kata SEBA, banyak orang memaknai sebagai bentuk ketundukan masyarakat Baduy terhadap pemerintah. Padahal dari kata nya saja sudah jelas, SEBA yang artinya silaturahmi atau kunjungan. Tempat acaranya biasa disebut PASEBAN. Adapun mereka membawa hasil panennya berupa laksa, pisang dan hasil ladang/huma lainnya adalah ‘buah tangan’.
Bagaimana mereka dikatakan ‘tunduk’? Sedangkan salah satu tugas hidup mereka adalah “ngasuh Ratu, ngajayak Menak”? Mari kita kaji pula apa yang diucapkan oleh Tanggungan Jaro 12 yang menjadi pemimpin setiap upacara adat Seba saat menyampaikan ‘pidato’nya. Mereka datang dengan membawa pesan dan titipan.
"Setidaknya ada 3 pesan utama Puun (pucuk Pimpinan Masyarakat Adat Baduy) yang disampaikan oleh Tanggungan Jaro Duabelas, dalam upacara sakral bagi Komunitas Adat Baduy itu. Pertama, bagaimana kita harus mampu memanusiakan manusia dan memuliakan kehidupan, Kedua, tegakkan hukum dan keadilan. Ketiga, menyampaikan amanat “gunung ulah dilebur, lebak ulah diruksak”, seruan untuk menjaga keseimbangan hidup dengan alam semesta. Itu sebabnya mereka melakukan Seba ke Bupati Lebak, Bupati Pandeglang, Bupati Serang dan Gubernur Banten, " ungkap pemerhati Baduy.
Lebih lanjut Uday menyampaikan soal memaknai Seba itu Rasa syukur kepada Sang Dzat yang Serba Maha (Tuhan) mereka tunjukkan dengan beragam upacara adat. Salah satunya Seba. Seba sendiri ada dua jenis, seba leutik (kecil) ada juga Seba Gede / Seba Ageung atau seba besar yang melibatkan lebih banyak delegasi dari biasanya. Waktu Seba Gede ditentukan oleh Puun atas perhitungan yang dilakukannya. Seba juga bermakna menjaga ikatan persaudaraan adalah salah satu kunci kedamaian dan kesejahteraan sosial.
"Pesan dari Kanekes selama ini seperti “masuk dari kuping kanan, kemudian keluar dari kuping kiri”. Padahal pesan itu sangat mendasar. Jika pesan moral itu diindahkan (memanusiakan manusia, memuliakan kehidupan, menegakkan hukum dan menjaga alam), maka dipastikan tidak akan ada ketimpangan, " ucap Uday.
"Jangan jadikan Baduy sebagai tontonan (obyek wisata). Sebaliknya, jadikan Baduy sebagai tuntunan, menjadikan mereka sebagai subyek peradaban manusia, melalui Saba Budaya Baduy, bukan Wisata Baduy, " tegas Uday Suhada yang juga aktivis antikorupsi Banten itu.
Baduy adalah pewaris tradisi lisan yang masih tersisa. Mendidik generasi muda dengan keteladanan, bukan dengan tulisan atau sekedar ucapan. “Nagara bakal maju, ngan Wiwitan mah kudu tetep diteguhkeun dipatuhkeun”. Sebab tugas hidup orang Baduy adalah “Ngabaratapakeun, ngabaratanghikeun titipan ti Adam Tunggal”.
Titipan itu adalah “Tilu puluh tilu nagara, pancer salawe nagara, kawan sawidak lima”.
Melalui falsafah hidup “lojor teu beunang dipotong, pondok teu beunang disambung”, Baduy mengajarkan kejujuran dan kesederhanaan hidup. Kedaulatan pangan (tak ada sejarahnya warga Baduy mati karena kelaparan).
“Hirup mah kudu tutulung kanu butuh, tatalang kanu susah, mere kanu teu boga, nyaangan kanu poekeun, nganteur kanu sieun” adalah dasar untuk saling dengan sesama. "Bahkan dalam memperjuangkan sebuah kebenaran, membangun bangsa, ada kalimat yang sangat dahsyat maknanya “ulah gedug kalinduan, ulah rigrig kaanginan, ulah limpas kacaahan. Mun henteu, matak tambur kamenakan, matak teu awet juritan, matak leutik pangarahna - leutik pangaruhna kana ngabangun nagara”.
"Karenanya, Seba Baduy akan selalu relevan dengan segala zaman, " terang Uday.**